Jumat, 31 Maret 2017

HADIS TENTANG AMANAH

  بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

I.       PENDAHULUAN
Amanah merupakan salah satu akhlak para rasul yang paling nampak. Nabi Nuh a.s., Nabi Hud a.s., Nabi Luth a.s., dan  Nabi Syuaib a.s., sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Asy Syu’ara  ayat 107 bahwa:
    
Artinya:  “ Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul yang memegang amanah (yang diutus) kepada kalian. (QS. ASy Syu’ara/26: 107).
Adapun Rasulullah SAW memiliki sifat al Amin (memegang amanah, terpecaya) di tengah-tengah kaumnya. Orang-orang memilih beliau sebagai pihak untuk dititipi berbagai barang. Saat beliau hijrah beliau meminta Ali bin Abi Thalib supaya mengembalikan barang-barang titipan kepada mereka yang menitipkannya.
Bagaimana kita bersikap amanah di zaman sekarang ini yang modern dan era globlalisasi meski banyak tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu pemakalah akan menjelaskan secara gamblang dan sistematis tentang pengertian amanah, hakikat amanah, bentu-bentuk amanah, khianat dan cara untuk menjadi pengemban amanah tanpa keluar dari koridor-koridor hukum syar’i dan hadis. Sehingga bisa menjadi insan yang muttaqin.
II.    HADIS AMANAH
Sahabat nabi Khudzaifah r.a. menerangkan dalam hadis yang berbunyi:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَدِيْثَيْنِ رَأَيْتُ اَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلاَخَرَ.حَدَّثَنَا أَنَّ اْلأَ مَانَةَ نَزَلَتْ فِيْ جَذْرِ قُلُوْبِ الرِّجَالِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ عَلِمُوْامِنَ السُّنَّةِ وَ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ اَثَرِالْوَكْتِ ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ فَيَبْقَى اَثَرُهَا مِثْلَ اْلمَجْلِ كَجَمْرِ دَحْرَجْتَهُ عَلىَ رِجْلِكَ فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًاوَلَيْسَ فِيْهِ سَيْءٌ فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَا يَعُوْنَ فَلاَيَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَماَنَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِيْ بَنِيْ فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا وَيُقَّالُ لِلرَّجُلِ ماَأَعْقَلَهُ وَماَ اَظْرَفَهُ وَمَا اَجْلَدَهُ وَمَا فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ اِيْمَانِ وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَا لِيْ أَيَّكُمْ بَايَعْتُ لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا رَدَّهُ عَلَيَّ اْلإِسْلاَمُ وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَا يِعُ إِلاَّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا. (اَخْرَجَهُ الْبُخَا رِيُّ فِيْ كِتَابِ الرِقَاقْ)          
Artinya: Dari Khudzaifah berkata, Rasulullah ­­­SAW menyampaikan kepadaku dua hadis, yang satu telah saya ketahui dan yang satunya lagi masih saya tunggu. Beliau bersabda kepada kami bahwa amanah itu diletakkan di lubuk hati manusia, lalu mereka mengetahuinya dari Al Qur’an kemudian mereka ketahui dari al hadis (sunnah). Dan beliau juga menyampaikan kepada kami tentang akan hilangnya amanah. Beliau bersabda: seseorang tidur lantas amanah dicabut dari hatinya hingga tinggal bekasnya seperti bekas titik-titik. Kemudian ia tidur lagi, lalu amanah dicabut hingga tinggal bekasnya seperti bekas yang terdapat di telapak tangan yang digunakan untuk bekerja, bagaikan bara yang di letakkan di kakimu, lantas melepuh tetapi tidak berisi apa-apa. Kemudian mereka melakukan jual beli/transaksi-transaksi tetapi hampir tidak ada orang yang menunaikan amanah maka orang-orang pun berkata : sesungguhnya dikalangan Bani Fulan terdapat orang yang bisa dipercayai dan adapula yang mengatakan kepada seseorang alangkah pandainya, alangkah cerdasnya, alangkah tabahnya padahal pada hatinya tidak ada iman sedikitpun walaupun hanya sebiji sawi. Sungguh akan datang padaku suatu zaman dan aku tidak memperdulikan lagi siapa diantara kamu yang aku baiat, jika ia seorang muslim hendaklah dikembalikan kepada Islam yang sebenarnya dan juga ia seorang nasrani maka dia akan dikembalikan kepadaku oleh orang-orang yang mengusahakannya. Adapun pada hari ini aku tidak membaiat kecuali Fulan bin Fulan.(HR. Imam Bukhari)[1].

III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Amanah
Amanah dalam bahasa arab berasal dari kata al Amaanah yang berarti segala yang diperintah Allah SWT kepada hamba-hambanya[2]. Secara khusus amanah adalah sikap bertanggung jawab orang yang dititipi barang, harta atau lainnya dengan mengembalikannya kepada orang yang mempunyai barang atau harta tersebut.
Sedangkan secara umum amanah sangat luas sekali. Sehingga menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan masukan kepada orang yang meminta pendapat dan  menyampaikan pesan kepada pihak yang benar atau sesuai dengan permintaan orang yang berpesan juga termasuk amanah. Maka sifat amanah baik secara umum maupun yang khusus sangat berhubungan erat dengan sifat-sifat mulia lainnya seperti jujur, sabar, berani, menjaga kemuliaan diri, memenuhi janji dan adil[3].
B.     Hakikat Amanah
Hadis diatas menuturkan tentang diturunkannya dan diangkatnya amanah, salah satu dari keduanya melihat bahwa sesungguhnya amanah itu kebalikan dari sifat khianat atau dengan kata lain adalah suatu beban tanggung jawab. Amanah diturunkan dalam lubuk hati orang-orang, setelah itu orang-orang mengetahui dari Al Qur’an kemudian dari Sunnah (Hadis) . Bahwasanya amanah itu diberikan kepada orang-orang menurut fitrahnya, setelah itu dengan melalui usaha dari syariat. Adapun secara lahir yang dimaksud dengan amanah adalah suatu tanggung jawab yang telah Allah SWT bebankan kepada terhadap hamba-hambanya dan juga janji yang telah Allah SWT berikan kepada hambanya, Pengarang kitab Tahrir mengatakan bahwa yang dikehendaki amanah di bab ini adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al Ahzab/33: 72)
Bahwa tingkah laku atau kondisi manusia yang menyerupai ayat tadi yaitu suatu beban atau tanggung jawab yang berupa ketaatan dengan tingkah laku yang ditawarkan. Apabila amanah itu ditawarkan atau ditimpakan kepada langit, bumi dan gunung-gunung  niscaya mereka enggan untuk menanggungnya karena sangat agung dan beratnya sebuah amanah untuk menanggungnya. Akan tetapi manusia dengan sifat lemah dan sedikit kemampuannya mau menanggung amanah tersebut. Sesungguhnya manusia itu termasuk orang-orang yang mendzolimi dirinya dan amat bodoh tingkahnya sekira dia mau mengemban beban suatu amanah.
Allah SWT menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunungnya maka Allah SWT berkata kepada mereka, Apakah kalian mampu menanggung amanah dengan apa yang ada didalamnya? Allah menjawab: Apabila kamu bisa mengemban dan menjaga baik amanah maka kalian akan memperoleh balasan yang banyak. Dan ketika kalian mendurhakai suatu amanah maka kalian akan mendapat siksa yang setimpal, lalu mereka menjawab: tidak ya Allah, tidak, kami tidak mengharapkan apapun dari balasan ganjaran maupun siksa karena memuliakan dan takut kepada Agama Allah SWT[4].
Sejatinya kesanggupan untuk memikul tanggung jawab berat ini diatas pundak adalah tindakan membahayakan diri sendiri. Karenanya manusia adalah makhluk yang mendzolimi dirinya sendiri dan jahil, tidak tahu kemampuannya sendiri. Ini jika dibandingkan dengan besarnya penolakan nafsunya untuk memikulnya. Namun demikian, jika dia bangkit dengan memikul tanggung jawab itu, saat dia sampai kepada makrifah yang menyampaikannya kepada penciptaannya, ketika dia mengambil petunjuk secara langsung dari syariat-Nya dan kala dia sangat patuh kepada kehendak Rabbnya, petunjuk dan ketaatan yang dengan mudah dicapai oleh langit, bumi, dan gunung, makhluk-makhluk yang bermakrifah dan taat kepada penciptaannya tanpa ada penghalang dari dirinya. Ketika manusia telah sampai kepada derajat ini dan dia sadar,mengerti,beriradah, maka sungguh dia telah sampai di kedudukan yang mulia, kedudukan istimewa diantara sekian makhluk Allah SWT[5]
 http://multazam-einstein.blogspot.co.id/2013/03/hadis-tentang-amanah.html

0 komentar:

Posting Komentar